mau dapetin dollar sekarang!!! gratiss...

boss-mails.com

Minggu, 19 Oktober 2008

Antara JIL dan Jilbab


A’uzubillahi minassyaithonirrojim
Bismillahirrahmanirrohim
Sekitar satu bulan yang lalu “rekan-rekan” kita di JIL ( Jaringan Islam Liberal) mengadakan bedah buku tentang keuniversalan Al-Qur’an di IAIN raden fatah tercinta ini, yah walaupun sempat “ditekan” tapi jaringan ini terus consist untuk membongkar habis bangunan pemikiran Islam
Tentu saja Pemikiran saya berikut bukan menawarkan kebenaran, karena saya cukup sadar siapa saya? Tapi walaupun tulisan ini tidak tersistematis dan kurang realistis tapi harapan saya minimal ada sebuah tanggapan yang keluar dari diri pribadi saya mengenai agama yang selama ini saya yakini.Wallahua’lam bisshowab
Hermeneutika, pendekatan inilah yang namapaknya cukup popular dipakai oleh kalangan “Pemikir kontemporer” saat ini dalam menganalisa Al-Qur’an,yakni metode kritik teks-seperti yang diungkapkan Hamadi-yang juga biasa dipakai terhadap teks-teks sastra dan sejenisnya, termasuk Bible[1]
Walaupun agak sedikit rumit tapi inilah konsekuensinya kalau mau hasil dari pemikiran itu objektif
Seperti catatan Zein ed-din tentang Kemajuan Negara – Negara yang tidak memberlakukan pemakaian jilbab ternyata jauh lebih maju dibidang intelektual dan material dari pada Negara – Negara yang memberlakukan jilbab, tidak cukup kuat untuk dijadikan sebuah justifikasi Kebenaran, kalaupun memakai jilbab atau tidak itu menjadi tolok ukur, bagaimana menjelaskan kenapa bangsa pribumi afrika yang notabenenya tidak berjilbab dan juga Brasil, lebih rendah tingkat intelektualitas dan materinya dari pada Negara Islam Iran, atau Syiria yang katanya melarang anak gadisnya keluar rumah kalau tidak mengenakan jilbab, bagaimana juga menjelaskan Malaysia dan Brunei Darussalam yang dikenal dengan Pendidikan dan kemakmurannya? Bagaimana menjelaskan Kota Internasional Dubai? Kuwait? Arab Saudi yang semuanya memegang posisi penting dalam pengaturan Energi dunia?
Kalaupun mengenakan jilbab atau tidak dikaitkan dengan moral akan cukup kelihatan sekali perbedaanya, mengutip sebuah kalimat dari percakapan dalam karya zein “ Sebenarnya orang –orang Barat mendasarkan kebiasaan mereka atas akal budi (pikiran), akal budi sendiri, seharusnya mampu mengatur kebiasaan” begitulah kalau akal dijadikan aturan, yah yang pasti aturan itu harus nyaman bagi yang membuat bukan? kalau ada satu milyar manusia berarti akan ada satu milyar aturan yang pastinya bergesekan satu sama lain karena masing-masing tidak mau rugi, seandainya jalan pemecahan untuk tidak berjilbab itu benar,dan akal budilah yang mampu mengatur segalanya tentu amerika dan keroconya yang mengagungkan liberalisme menjadi Negara yang paling kecil kasus perkosaan dan kekerasan terhadap wanita didunia, tapi yang terjadi justru sebaliknya data Negara – Negara tersebut menunjukan angka yang tinggi untuk kasus perkosaan dan pelecehan seksual lainya
Ada hal yang nampaknya oleh dan mungkin para Pemikir kontemporer lainya, Boleh kita menganalisa tradisi islam melalui aspek sosiologi, histori maupun antropologi, tapi kita tidak boleh melupakan Pendekatan Normativnya, berbicara boleh apalagi berpikir, bukankah Allah sering “menegur” orang-orang berakal yang tidak menggunakan akalnya? Tapi akal tersebut tidaklah sepantasnya dikedepankan sebelum kita kembali pada Al-Qur’an dan Assunnah, Allah juga melarang kita untuk “melangkahinNYA” dan juga Rasulnya ( Al-qur’an dan hadits)
Tingkatan kualitas teks al-Qur’an juga ada yang Qath’i(valid) dan Zhanni ( bermakna ganda) lantas apakah kita harus mengenyampingkan ini?seperti orang-orang nasrani yang mengobok-obok Injil? bukan bermaksud taklid, tapi kalau Teks itu sudah qath’I kenapa harus dibongkar lagi? Bagaimana menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an bila semuanya dianggap Zhanni? Sekarang saja ketika masih banyak alim ulama yang bepegangan pada normativisme atau leterlek saja sudah banyak perbedaan apalagi jika semua alim ulama sepakat hanya mengupas Al-qur’an melalui pendekatan Hermeneutika?yang terjadi ratusan bahkan ribuan tafsiran Ayat al-qur’an yang masing-masing diperkuat oleh puluhan hadits dari sanad, rawi dan matan yang berbeda bahkan saling bertentangan malah akan menyebabkan sang penafsir merasa menjadi “Tuhan “ yang mempunyai otorisasi kebenaran dalam ayat yang ia tafsirkan, bukan malah menolong umat tapi membawa umat pada kebingungan global dan perselisihan sesama yang tidak akan ada ujungnya dan titik temunya
Bagaimana menjelaskan ayat berikut kalau ayat ini dianggap Zhanni?
“hai nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu, dan Allah maha pengampun,Maha penyayang.(Al-Ahzab : 59)
kalaupun jilbab itu diesensikan sebagai standar kepantasan umum dalam berpakaian ( public decency) bagaimana kita harus menggantikan benda yang bernama jilbab dengan sesuatu yang harus berfungsi sebagai penutup seluruh tubuh?
Yang saya yakini, Allah tidak akan menghinakan perempuan dari laki-laki karena perempuan memakai jilbab,( tidak seperti pendapat Zein “Jilbab adalah penghinaan laki-laki terhadap perempuan”) karena yang memerintahkan perempuan untuk menutup tubuh adalah Tuhan sendiri,
Sama seperti sebuah pabrik yang paling tahu mengenai produk ciptaanya sendiri dari pada ciptaan pabrik lain, Tuhan pun lebih tahu mana yang terbaik untuk ciptaannya, termasuk makhluk yang bernama perempuan,seperti kutipan ayat berikut : “…sehingga mereka tidak diganggu…”, begitu kasih sayangnya Tuhan pada wanita, coba bandingkan dengan tingkat kasus pelecehan seksual Barat misalnya?
Dan diakhir tulisan saya mari bersama kita renungkan ayat berikut
“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka, dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia telah tersesat,sesat yang nyata”( Al-Ahzab : 36)
[1] Jika Teks Al-Qur’an, Sunah, dan tradisi Islam didekati Secara Heremeneutis, maka mutlak bagi kaum Liberal melakukan distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diri penafsir dengan segala latar belakang Soiologis, psikologis dan cultural agar bisa meminimalisasi subyektifitas penafsir, kemudian melihatnuya secara secara histories dan kontekstual, selanjutnya ,menyaripati esensi-esensi nya, untuk akhirnya mengappropriasikanya dengan tantangan-tantangan zaman, tentu bukan suatu pendekatan yang mudah, tapi mereka tidak punya pilihan lain kalau hendak objektif
Kenyataanya, bahwa hermeneutika memiliki jebakan- jebakanya sendiri, disetiap tahap dalam prosedurnya.penelusuran secara histories dan kontekstual mengharuskan kita untuk dapat memilih dari berbagai versi historis, latar belakang sosio cultural dan psikologis ytang begitu komplek, bahkan sering bertentangan, sebab hanya dengan cara inilah penafsir akan terkendali dari pemahaman spekulatif jika tujuannya hendak mengembalikan makna asal kata-kata yang tertuang dalam teks (Hamadi B.Husain;29-30)

Tidak ada komentar: