mau dapetin dollar sekarang!!! gratiss...

boss-mails.com

Kamis, 30 Oktober 2008

SESAJEN DALAM PANDANGAN ISLAM


A.Pengertian Sesajen
“Mbah…ini ada sedikit makanan,aku pengen negelamar sianu mbah,tolongin dong…”
Kejadian diatas mungkin sering kita dapati di sekitar kita,di TV kah,Media Elektronik lainya kah, atau malah disekililing kita, nampaknya ada kepercayaan tertentu yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat kita yang majemuk ini
Ya...sesajen,kata ini nampaknya sudah tidak asing lagi terdengar,terlihat bahkan terlakukan (jika pernah) oleh kita, dengan sesajen ini kadang orang berharap dapat memberi makan arwah orang-orang yang sudah mendahului mereka, serta tidak jarang juga diboncengi oleh permintaan terhadap sesuatu agar dikabulkan oleh arwah yang disesajeni
Menurut artikel yang ditulis pleh Abu Abdillah Ahmad Sesajen berarti sajian atau hidangan. Sesajen memiliki nilai sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini dilakukan untuk ngalap berkah (mencari berkah) di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan ghaib, semacam keris, trisula dan sebagainya untuk tujuan yang bersifat duniawi [1]
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sajen merupakan makanan atau bunga-bungaan & sebagainya yg disajikan kepada orang (makhluk) halus & semisalnya. Tumbal, dalam prakteknya lebih khusus atau identik dengan sembelihan dan kurban, sedangkan sesajen biasanya berbentuk makanan yang siap dihidangkan seperti: Jenis-jenis bubur; Buah; Daging atau Ayam yg telah dimasak, dan dilengkapi dengan berbagai macam bunga serta terkadang uang logam. Sesajen merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan) dan lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti: Upacara menjelang panen yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang mungkin masih dipraktekkan di sebagian daerah Jawa, upacara Nglarung (membuang kesialan) ke laut yg masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai selatan pulau Jawa tepatnya di tepian Samudra Indonesia yang terkenal dengan mitos Nyi Roro Kidul. [2]
Ada pula jenis lain dari sesajen, yaitu menyediakan berbagai jenis tanaman dan biji-bijian seperti padi, tebu, jagung dan lain-lain yg masih utuh dengan tangkainya, kemudian diletakkan pada tiang atau kuda-kuda rumah yang baru di bangun supaya rumah tersebut aman, tentram dan tidak membawa sial. Adapun tumbal dilakukan dalam bentuk sembelihan, seperti: Menyembelih ayam dengan ciri-ciri khusus untuk kesembuhan penyakit atau untuk menolak kecelakaan; Menyembelih kerbau atau sapi, lalu kepalanya di tanam ke dalam tanah yang di atasnya akan dibangun sebuah gedung atau proyek, supaya proyek pembangunan berjalan lancar dan bangunannya membawa berkah. Jadi pada intinya tumbal dan sesajen adalah mempersembahkan sesuatu kepada makhluk halus (roh, jin, lelembut, penunggu, dll) dengan harapan agar yang diberi persembahan tersebut tidak mengganggu atau mencelakakan, lalu berharap dengannya keberuntungan dan kesuksesan.[3]
Sedangkan waktu penyajiannya di tentukan pada hari-hari tertentu. Seperti malam jum’at kliwon, selasa legi dan sebagainya. Adapun bentuk sesajiannya bervariasi tergantung permintaan atau sesuai “bisikan ghaib” yang di terima oleh orang pintar, paranormal, dukun dan sebagainya.
Banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).
Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Fitrah inilah yang mendorong manusia terus mencari Penguasa yang maha besar? Pada akhirnya ada yang menemukan batu besar, pohon-pohon rindang, kubur-kubur, benda-benda kuno dan lain-lain, lalu di agungkanlah benda-benda tersebut. Pengagungan itu antara lain diekspresikan dalam bentuk sesajen yang tak terlepas dari unsur-unsur berikut: menghinakan diri, rasa takut, berharap, tawakal, do’a dan lainnya. Unsur-unsur inilah yang biasa disebut dalam islam sebagai ibadah.[4]
Asal-usul-nya Kita lihat masyarakat kita, bagaimana budaya yang aneh dan primitif ini begitu melekat dalam diri mereka dan menjadi adat ritual dalam keseharian mereka, sebenarnya siapa yang mengusung budaya seperti ini? siapa pencetusnya? Mereka mengasumsi budaya seperti ini dari mana?. Akankah mereka katakan ini adalah sebagian dari ajaran islam yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad s.a.w kemudian disamapaikan kepada sahabatnya kemudian dan kemudian dan kemudian dan akhirnya sampai pada umatnya, yang sudah puluhan abad ini menghilang dari ajaran islam…! Kita katakan ini ajaran islam yang mana? Tuhan yang mana? Nabi yang mana? Bukankah nabi Muhammad SAW selalu menjaga kemurnian aqidah umatnya,bukankah selama tiga belas tahun lamanya Muhammad SAW menanamkan aqidah yang benar. Bahwa Dialah tuhan yang satu yang patut di sembah,! Yang maha besar, dan maha perkasa dan kuasa, hanya Dialah yang berhak memberikan mamfaat dan mudharat…!!! Sesajen merupakan warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat (pohon, batu, persimpangan, yang angker-angker gitu loh ) dan lain-lain yang mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Seperti: ritual menjelang panen yang mereka persembahkan kepada Dewi Sri (dewi padi dan kesuburan) yang mungkin masih dipraktekkan di sebagian daerah yang ada di indonesia misalnya di jawa upacara Nglarung (membuang kesialan) ke laut yang masih banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal di pesisir pantai selatan pulau Jawa tepatnya di tepian Samudra Indonesia yang terkenal dengan mitos Nyi Roro Kidul Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa budaya seperti tersebut di atas bukan budaya islam, melainkan ini adalah ajaran dari agama hindu dan budha penyembah batu dan berhalaitu.[5]Hukum Sesajen
Al-Qur'an telah mensinyalir adanya orang yang mencari manfa’at dan menolak madharat kepada selain Allah, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang musyrik di masa jahiliyah, sebagaimana difirmankan Allah, “Kemudian mereka mengambil ilah-ilah selain Dia (untuk disembah), yg tidak menciptakan sesuatu apa pun, bahkan mereka sendiri pun diciptakan & tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfa'atan dan tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS. 25:3) . Padahal Allah telah memperingatkan, bahwa berhala atau dewa-dewa mereka sama sekali tidak memiliki kekuasaan sedikit pun, “Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walau pun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di Hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui”. (QS. 35:13-14) Tumbal dan sesajen merupakan warisan kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu kepercayaan bahwa benda-benda atau tempat tertentu di alam raya ini memiliki kekuatan ghaib (magic) yang dapat mencelakai seseorang atau menolong serta memenuhi hajatnya. Agar penguasa tempat atau benda tersebut tidak mengganggu, maka harus diberi persembahan, baik tumbal atau sesajen, yang itu jelas merupakan ibadah atau masuk di dalam lingkupnya. Sedangkan di dalam Islam, memalingkan peribadatan, do’a, pengharapan (raja'), takut (khauf), sembelihan, nadzar, isti'anah, istighatsah dan sebagainya kepada selain Allah adalah syirik. Jika yg melakukan adalah orang Islam, maka keislamannya menjadi batal dengan sebab semua itu.[6] Allah Ta'ala memerintahkan kepada Rasulullah SAWm untuk menyelisihi orang-orang musyrik yang beribadah dan menyembelih karena selain Allah, Dia berfirman, “Katakanlah, "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku & matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (QS. 6:162-163). Di dalam surat al-Kautsar Allah SWT juga berfirman, “Maka diri kanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkorbanlah.” (QS. 108:2) Kedua ayat ini menunjukkan, bahwa shalat dan penyembelihan binatang (kurban) adalah ibadah yg harus didasari niat hanya untuk Allah semata. Orang yang memalingkan atau menyimpangkan persembahan kurban atau penyembelihan kepada selain Allah adalah musyrik, sama saja statusnya dengan shalat, ruku’ dan sujud untuk selain Allah. Masuk Neraka karena Lalat
Mungkin saja sebagian orang yang melakukan tumbal dan sesajen beralasan, bahwa yang dipersembahkan bukanlah nyawa manusia (sebagaimana pernah terjadi di zaman dulu), namun hanya sekedar binatang yang keberadaannya memang untuk dimanfa’at kan manusia. Hitung-hitung sedekahlah, sedekah alam, sedekah bumi, laut atau gunung, demikian sebagian di antara mereka beralasan. Perlu diketahui, bahwa permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab ini menyangkut tauhid dan syirik yang berkaitan dengan status keislaman seseorang serta ancaman Allah terhadap para musyrikin. Jika apa yang mereka lakukan adalah memang bentuk sedekah, maka tentu Allah dan Rasulullah akan membiarkan orang-orang jahiliyah mengerjakan hal semacam itu, sebab mereka masih mengakui rububiyah Allah. Letak permasalahannya bukanlah pada apa yang mereka sembelih atau mereka sedekahkan (menurut mereka), namun pada tujuan untuk siapa sembelihan dan persembahan itu dilakukan. Rasulullah SAW pernah mengisahkan seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat, dan masuk surga karena seekor lalat. Beliau bersabda, "Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang masuk neraka karena seekor lalat pula." Para shahabat bertanya," Bagaimana hal itu ya Rasulullah ?". Beliau menjawab, "Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang memiliki berhala. Tak seorang pun dapat melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban. Ketika itu berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut , "Persembahkanlah korban kepadanya." Dia menjawab,"Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya." Mereka pun berkata kepadanya lagi,". Persembahkan meskipun seekor lalat." Lalu orang tersebut mempersembahkan seekor lalat dan mereka pun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanan, maka dia masuk neraka karenanya. Kemudian mereka berkata kepada yang lain," Persembahkanlah korban kepadanya." Dia menjawab" Tidak patut bagiku mempersembahkan sesuatu kepada selain Allah Azza wa Jalla." Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya orang ini masuk surga." [7]Perhatikan bagaimana kondisi orang yg melakukan persembahan kepada selain Allah di dalam hadits di atas. Dia tidak dengan sengaja meniatkan persembahan itu, sekedar untuk melepaskan diri dari perlakuan buruk para pemuja berhala itu, dan hanya persembahan seekor lalat, namun ternyata telah menjerumuskannya ke dalam neraka. Jika demikian, maka bagaimana halnya dengan yang melakukan penyembelihan untuk selain Allah, lebih dari seekor lalat atas kemauan dan niat sendiri ?. Islam datang membimbing manusia agar tetap berjalan diatas fitrah yang lurus dengan diturunkannya syari’at yang agung ini. AllahTa’ala menerangkan tentang fitrah yang lurus tersebut dalam Al Qur’an (yang artinya): “Rasul-rasul mereka berkata apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan bumi?” (QS. Ibrahim: 10).
Allah juga berfirman (yang artinya): “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Ar Rum: 30).
Berkenaan dengan ayat-ayat diatas, nabi pun bersabda (yang artinya): “Setiap anak dilahirkan diatas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau penyembah api.” (HR Bukhari, Muslim dan Abu Hurairah, Al Irwa’: 1220).
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi (yang artinya): “(Allah berfirman) Aku menciptakan hamba-hamba-Ku diatas agama yang lurus (hanif) lalu syetan menyesatkan mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad dari shahabat ‘Iash bin Himar).
Imam Ibnu Abil Izzi menerangkan, “Bahwa bayi itu terlahir sesuai dengan fitrah.” Artinya bukan dalam keadaan kosong jiwanya, melainkan mengerti tauhid dan syirik.” (Syarah Aqidah Thahawiyah: 83).
Fitrah ini akan tetap terjaga dengan cara menghambakan diri kepada Allah sepenuhnya. Inilah yang disebut dengan tauhid ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
lbnu Katsir menerangkan ayat ini bahwa, “Allah menciptakan manusia dan jin agar mereka menyembah-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir surat Ad Dzariyat.: 56).
Ibadah yang penting untuk diketahui adalah ibadah hati seperti do’a, takut, berharap, tawakal, cinta dan lain-lain. Semua bentuk ibadah yang agung itu haruslah ditujukan kepada Allah semata, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah maka janganlah kamu menyeru bersama Allah itu seorangpun!” (QS. Al Jin: 18).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Ali Imran: 175).
Allah berfirman (yang artinya): “Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaknya ia beramal shalih dan jangan melakukan kesyirikan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan seorangpun.” (QS. Al Kahfi: 110).
Pengharapan yang dibarengi ketundukan dan penghinaan diri haruslah ditujukan kepada Allah semata. Jika seseorang memperuntukkan raja’ (harapan) seperti ini kepada selain-Nya, sesungguhnya ia telah berbuat kesyirikan. Syariat Islam tidak melarang ummatnya untuk memiliki sikap raja’ akan tetapi raja’ yang dipuji dan dianjurkan adalah yang diiringi dengan amal shalih dan taubat dari kemaksiatan (SyarahUshuluts Tsalasah: 53).
Allah juga berfirman (yang artinya): “Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakal jika benar-benar kamu orang-orang beriman.” (QS. Al Maidah: 23)
Tawakal berarti menyandarkan segala urusan kepada-Nya semata baik itu urusan yang mendatangkan keuntungan maupun yang mengakibatkan kerugian atau madharat.
Keterangan-keterangan diatas menunjukkan bahwa acara ritualis sesajen bertentangan dengan syariat Islam yang murni. Sebab didalamnya mengandung pengagungan, penghambaan, pengharapan, takut yang semestinya hanya diperuntukkan kepada Allah semata. Mudah-mudahan Allah jauhkan kita dari segala bentuk kesyirikan. Allahu Ta’ala A’lam.
[1] Abu Abdillah Ahmad,sesaji-sesajian-sesajen: adakah dalam Islam?, posted in Aqidah & Manhaj 24 Safar 1429 H

[2] Labbaik, edisi : 031/th.03/Rabi'ul Akhir-Jummadil Awwal 1428H/2007M

[3] Ibid
[4] Opcit, Abu Abdillah Ahmad
[5] junaidi ,Jumat, 01 September 06 (23:14)
[6] Loc cit, Labbaik
[7] Opcit,labbaik

Minggu, 19 Oktober 2008

Antara JIL dan Jilbab


A’uzubillahi minassyaithonirrojim
Bismillahirrahmanirrohim
Sekitar satu bulan yang lalu “rekan-rekan” kita di JIL ( Jaringan Islam Liberal) mengadakan bedah buku tentang keuniversalan Al-Qur’an di IAIN raden fatah tercinta ini, yah walaupun sempat “ditekan” tapi jaringan ini terus consist untuk membongkar habis bangunan pemikiran Islam
Tentu saja Pemikiran saya berikut bukan menawarkan kebenaran, karena saya cukup sadar siapa saya? Tapi walaupun tulisan ini tidak tersistematis dan kurang realistis tapi harapan saya minimal ada sebuah tanggapan yang keluar dari diri pribadi saya mengenai agama yang selama ini saya yakini.Wallahua’lam bisshowab
Hermeneutika, pendekatan inilah yang namapaknya cukup popular dipakai oleh kalangan “Pemikir kontemporer” saat ini dalam menganalisa Al-Qur’an,yakni metode kritik teks-seperti yang diungkapkan Hamadi-yang juga biasa dipakai terhadap teks-teks sastra dan sejenisnya, termasuk Bible[1]
Walaupun agak sedikit rumit tapi inilah konsekuensinya kalau mau hasil dari pemikiran itu objektif
Seperti catatan Zein ed-din tentang Kemajuan Negara – Negara yang tidak memberlakukan pemakaian jilbab ternyata jauh lebih maju dibidang intelektual dan material dari pada Negara – Negara yang memberlakukan jilbab, tidak cukup kuat untuk dijadikan sebuah justifikasi Kebenaran, kalaupun memakai jilbab atau tidak itu menjadi tolok ukur, bagaimana menjelaskan kenapa bangsa pribumi afrika yang notabenenya tidak berjilbab dan juga Brasil, lebih rendah tingkat intelektualitas dan materinya dari pada Negara Islam Iran, atau Syiria yang katanya melarang anak gadisnya keluar rumah kalau tidak mengenakan jilbab, bagaimana juga menjelaskan Malaysia dan Brunei Darussalam yang dikenal dengan Pendidikan dan kemakmurannya? Bagaimana menjelaskan Kota Internasional Dubai? Kuwait? Arab Saudi yang semuanya memegang posisi penting dalam pengaturan Energi dunia?
Kalaupun mengenakan jilbab atau tidak dikaitkan dengan moral akan cukup kelihatan sekali perbedaanya, mengutip sebuah kalimat dari percakapan dalam karya zein “ Sebenarnya orang –orang Barat mendasarkan kebiasaan mereka atas akal budi (pikiran), akal budi sendiri, seharusnya mampu mengatur kebiasaan” begitulah kalau akal dijadikan aturan, yah yang pasti aturan itu harus nyaman bagi yang membuat bukan? kalau ada satu milyar manusia berarti akan ada satu milyar aturan yang pastinya bergesekan satu sama lain karena masing-masing tidak mau rugi, seandainya jalan pemecahan untuk tidak berjilbab itu benar,dan akal budilah yang mampu mengatur segalanya tentu amerika dan keroconya yang mengagungkan liberalisme menjadi Negara yang paling kecil kasus perkosaan dan kekerasan terhadap wanita didunia, tapi yang terjadi justru sebaliknya data Negara – Negara tersebut menunjukan angka yang tinggi untuk kasus perkosaan dan pelecehan seksual lainya
Ada hal yang nampaknya oleh dan mungkin para Pemikir kontemporer lainya, Boleh kita menganalisa tradisi islam melalui aspek sosiologi, histori maupun antropologi, tapi kita tidak boleh melupakan Pendekatan Normativnya, berbicara boleh apalagi berpikir, bukankah Allah sering “menegur” orang-orang berakal yang tidak menggunakan akalnya? Tapi akal tersebut tidaklah sepantasnya dikedepankan sebelum kita kembali pada Al-Qur’an dan Assunnah, Allah juga melarang kita untuk “melangkahinNYA” dan juga Rasulnya ( Al-qur’an dan hadits)
Tingkatan kualitas teks al-Qur’an juga ada yang Qath’i(valid) dan Zhanni ( bermakna ganda) lantas apakah kita harus mengenyampingkan ini?seperti orang-orang nasrani yang mengobok-obok Injil? bukan bermaksud taklid, tapi kalau Teks itu sudah qath’I kenapa harus dibongkar lagi? Bagaimana menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an bila semuanya dianggap Zhanni? Sekarang saja ketika masih banyak alim ulama yang bepegangan pada normativisme atau leterlek saja sudah banyak perbedaan apalagi jika semua alim ulama sepakat hanya mengupas Al-qur’an melalui pendekatan Hermeneutika?yang terjadi ratusan bahkan ribuan tafsiran Ayat al-qur’an yang masing-masing diperkuat oleh puluhan hadits dari sanad, rawi dan matan yang berbeda bahkan saling bertentangan malah akan menyebabkan sang penafsir merasa menjadi “Tuhan “ yang mempunyai otorisasi kebenaran dalam ayat yang ia tafsirkan, bukan malah menolong umat tapi membawa umat pada kebingungan global dan perselisihan sesama yang tidak akan ada ujungnya dan titik temunya
Bagaimana menjelaskan ayat berikut kalau ayat ini dianggap Zhanni?
“hai nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu, dan Allah maha pengampun,Maha penyayang.(Al-Ahzab : 59)
kalaupun jilbab itu diesensikan sebagai standar kepantasan umum dalam berpakaian ( public decency) bagaimana kita harus menggantikan benda yang bernama jilbab dengan sesuatu yang harus berfungsi sebagai penutup seluruh tubuh?
Yang saya yakini, Allah tidak akan menghinakan perempuan dari laki-laki karena perempuan memakai jilbab,( tidak seperti pendapat Zein “Jilbab adalah penghinaan laki-laki terhadap perempuan”) karena yang memerintahkan perempuan untuk menutup tubuh adalah Tuhan sendiri,
Sama seperti sebuah pabrik yang paling tahu mengenai produk ciptaanya sendiri dari pada ciptaan pabrik lain, Tuhan pun lebih tahu mana yang terbaik untuk ciptaannya, termasuk makhluk yang bernama perempuan,seperti kutipan ayat berikut : “…sehingga mereka tidak diganggu…”, begitu kasih sayangnya Tuhan pada wanita, coba bandingkan dengan tingkat kasus pelecehan seksual Barat misalnya?
Dan diakhir tulisan saya mari bersama kita renungkan ayat berikut
“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka, dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia telah tersesat,sesat yang nyata”( Al-Ahzab : 36)
[1] Jika Teks Al-Qur’an, Sunah, dan tradisi Islam didekati Secara Heremeneutis, maka mutlak bagi kaum Liberal melakukan distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diri penafsir dengan segala latar belakang Soiologis, psikologis dan cultural agar bisa meminimalisasi subyektifitas penafsir, kemudian melihatnuya secara secara histories dan kontekstual, selanjutnya ,menyaripati esensi-esensi nya, untuk akhirnya mengappropriasikanya dengan tantangan-tantangan zaman, tentu bukan suatu pendekatan yang mudah, tapi mereka tidak punya pilihan lain kalau hendak objektif
Kenyataanya, bahwa hermeneutika memiliki jebakan- jebakanya sendiri, disetiap tahap dalam prosedurnya.penelusuran secara histories dan kontekstual mengharuskan kita untuk dapat memilih dari berbagai versi historis, latar belakang sosio cultural dan psikologis ytang begitu komplek, bahkan sering bertentangan, sebab hanya dengan cara inilah penafsir akan terkendali dari pemahaman spekulatif jika tujuannya hendak mengembalikan makna asal kata-kata yang tertuang dalam teks (Hamadi B.Husain;29-30)